Investasi tanah atau rumah memang menjanjikan. Bagi kebanyakan orang, tanah atau rumah adalah aset "paling aman". Yang tidak akan turun harga, dan tidak akan berpindah atau "hilang". Kecuali ada kejadian luar biasa seperti rusak karena bencana alam atau kebutuhan mendesak sehingga di jual murah.
Menetapkan Tujuan Dalam Investasi Properti
Fulan punya pengalaman 3 (tiga) kali
mengontrak rumah dan 8 (delapan) kali beli dan jual properti.
Fulan menjual semua properti yang dia
punya. Sehingga asetnya dalam bentuk uang tunai. Dengan tidak lagi mempunyai
rumah, Fulan akhirnya memilih mengontrak.
Sempat penulis menanyakan kenapa semua aset
properti dilepas?
Fulan menjawab, "Urusan surat menyurat
ribet, bayar pajaknya tinggi kalua punya banyak asset properti, kalau jadi warisan
berpotensi bertengkar antar ahli waris, dan bisa menjadi aset tidak produktif
kalau tidak laku disewakan atau diberdayakan".
Jawaban yang sah-sah saja, karena setiap
orang mempunyai pola piker yang berbeda-beda.
Fulan berkesimpulan, menyewa rumah lebih
menguntungkan dibanding memiliki rumah. Karena rumah yang kita miliki akan
menjadi liabilitas (beban). Apalagi kalau hidup berpindah-pindah, biasanya
dilepas dengan harga murah.
Menurut Fulan, rasio harga sewa terhadap
harga beli sekitar 2% sampai 5% per tahun. Sementara deposito di bank yang
paling konservatif ada di kisaran 4% sampai 7% per tahun. Di BPR bisa sampai
9%. Bahkan, di Koperasi bisa ada yang sampai 12% per tahun.
Artinya, menurut Fulan, daripada beli
properti secara tunai, lebih baik uangnya disimpan dalam bentuk deposito. Hasil
depositonya digunakan untuk menyewa rumah dan masih ada selisih positifnya.
Bagaimana jika dibandingkan dengan apabila membeli
rumah dengan sistem kredit (KPR)? Biaya membeli rumah dengan sistem KPR,
harganya bisa 3 kali lipat dibanding membeli secara tunai. Sehingga KPR tidak
disarankan. Belum lagi kualitas bangunannya pas-pasan dan berpotensi rusak.
Tapi kalau beli rumah khan harganya naik?
Fulan menjawab, "Kalau tujuannya
investasi, lebih baik beli saham
propertinya dibanding beli properti fisiknya. Apalagi harga properti fisik yang
harganya makin tidak terjangkau.
“Pilih beli rumah di BSD atau beli saham
BSDE yang per lembarnya di kisaran 685-an rupiah dengan peluang mendapatkan
dividen dan capital gain (keuntungan selisih harga jual dengan harga beli)?”,
lanjut Fulan.
Lalu ditambahknnya lagi, “Pilih beli rumah
di Sumarecon atau beli saham SMRA yang per lembarnya di kisaran harga 575-an
rupiah dengan peluang mendapat dividen dan capital gain?”.
Berdasarkan pengalaman Fulan, untuk beli properti fisik itu terdapat biaya sekitar 7% - 10% untuk membayar biaya notaris dan pajak dalam transaksinya.
Sedangkan apabila ditransaksikan pada bursa
saham, pajak transaksi saham berdasarkan PPh Pasal 4 ayat (2) hanya dikenai
0.1% (transaksi 1 M hanya kena pajak 1 juta). Kemudian saat dapat dividen,
dikenakan Pajak 10% dari bruto dividen yang diperoleh.
Misal anda investasikan uang di BJTM (Bank
Jatim), maka akan berpotensi mendapat dividen sekitar 8% per tahun. Dari 1 M
memperoleh 80 juta, terkena Pajak dividen 8 juta, terima Bersih 72 juta. 😀
Jadi, kesimpulan dan pertanyaan si Fulan
menjadi seperti ini:
1. punya rumah seharga 2 Milyar tanpa punya
deposito dan harus bayar biaya pajak beserta tetek bengeknya; atau
2. tinggal di rumah seharga 2 M (sewa) tapi
masih punya deposito 2 M, dan masih punya potensi cashflow positif??
Pilih Investasi Properti atau Investasi Saham?
Ada salah satu studi kasus riil, harga jual
rumah dan harga sewa rumah di Icon BSD Serpong yang diperoleh dari iklan di
situs OLX.
Harga jual rumah: Rp. 3.400.000.000
Biaya notaris dan pajak (apabila dibeli)
sekitar: Rp. 340.000.000
Total transaksi: Rp. 3.740.000.000
Apabila rumah tersebut kita sewa, harganya 110
juta per tahun (sesuai yang tertera dalam iklan OLX).
Misalkan kita punya uang sebesar 3.4 milyar tersebut, sedangkan kita butuh
rumah untuk tempat tinggal. Apakah sebaiknya kita beli tunai dengan harga
segitu atau sewa?
Katakkanlah dari 3.4 milyar kita gunakan
untuk sewa 110 juta, sehingga yang tinggal bersisa 3.290.000.000.
Kemudian uang sebesar 3.29 M diinvestkan
dalam bentuk saham dengan membeli saham BJTM dengan potensi mendapat dividen
yield (imbal balik investasi) rata-rata 8% per tahun.
Total dividen bruto yang diterima dari investasi
saham BJTM sekitar 263.200.000 juta setahun. Dikurangi Pajak dividen 10% (26.320.000),
sehingga mendapat dividen bersih yang diterima sekitar 236.880.000.
Uang 3.29 M tadi masih utuh berbentuk
kepemilikan saham BJTM. Dan memperoleh dividen bersih 236.880.000.
Tahun berikutnya bayar lagi sewa rumah
sebesar 110 juta. Sehingga 236.880.000 dikurangi 110 juta, masih sisa sekitar 126.880.000
plus potensi dapat lagi dividen di tahun yang sama. Dan bisa jadi bertambah
lagi apabila sisa 126.800.000 dibelikan lagi untuk menambah porsi kepemilikan
saham.
Tempat tinggal dapat, uang tetap tersimpan
dalam bentuk saham, dan asset bertumbuh dari perolehan dividen.
Apakah Investasi Saham Lebih Baik Daripada Investasi Properti?
Melihat hitung-hitungan studi kasus di atas, apakah semudah itu, Ferguso??
Ya, tidak juga.
Setiap investasi apapun memiliki risiko.
Ada yang berpendapat, investasi emas adalah yang terbaik, ya sah-sah saja. Tapi yang perlu diingat, saat ini, emas itu lebih sebagai alat lindung nilai aset kita agar tidak tergerus inflasi.
Ada yang berpendapat, investasi tanah
adalah yang paling aman, ya boleh-boleh saja. Tapi yang perlu diingat, tanah
itu likuiditasnya rendah. Susah untuk menjual. Dan biasanya, kita menjual pas
butuh sehingga harganya murah di bawah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP).
Namun, misal investasi tanah untuk memajukan usaha agrobisnis atau properti dijadikan aset untuk diperjualbelikan agar mendapatkan untung, itu juga tidak kalah menarik.
Ada yang berpendapat, investasi dalam bentuk Obligasi tetap yang terbaik karena memberikan imbal balik yang pasti meskipun kecil karena yang pinjam adalah negara. Ya silahkan saja. Tapi obligasi return kecil dan lama. Benar-benar uang yang tidak akan digunakan dalam waktu lama.
Ada yang berpendapat, investasi Reksadana Pasar Uang adalah yang paling bagus karena pasti bertumbuh meskipun lambat. Ya tidak apa-apa. Tapi pertumbuhan Reksadana Pasar Uang belum tentu bisa melawan inflasi.
Ada yang berpendapat, saham adalah instrumen investasi paling tepat untuk percepatan pertumbuhan asset. Ya, tidak ada salahnya. Tapi ingat, harga saham sangat fluktuatif sekali. Apabila kita salah pilih saham, bukannya bertumbuh, yang ada malah bangkrut.
Maka dari itu, bijaklah dalam berinvestasi.
Diversifikasikan asset.
Jangan menaruh telur dalam celana yang sama.
Dan yang tidak kalah penting dalam kondisi
pandemi begini:
JANGAN LUPA BAHAGIA... 😀😀😀
Karena perasaan bahagia akan membuat imun
kita semakin kuat.
Oleh: Don Cuan
0 Komentar